مرحبا بكم في الموقع الرسمي لمعهد الجامعة الإسلامية الحكومبة باري-باري

Kamis, 04 Agustus 2011

MEMBERDAYAKAN MASJID (Malam Ke: 16)

Budiman, M. Hi

Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat hidaayah (petunjuk).

Pengertian Memberdayakan Masjid
Memberdayakan Masjid adalah menjadikan masjid tidak hanya dijadikan sebagai sarana penyelenggaraan shalat, tetapi juga menjadikan masjid sebagai institusi sosial yang berperan dalam membangun pendidikan dan ekonomi umat. Dengan kata lain,
memberdayakan masjid adalah upaya agar masjid dapat berfungsi sebagai pusat ibadah, pemberdayaan dan persatuan umat dalam rangka meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, kecerdasan umat dan tercapainya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.

Materi
Ada 2 (dua) istilah yang saling berkaitan dalam hal membicarakan Masjid. Pertama, bina’ al-masjid (membangun masjid), dan kedua, ta’mîr al-masjid (memberdayakan/memakmurkan masjid).
Terdapat hanya dua ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang pemberdayaan masjid yang menggunakan redaksi يَعْمُرُ, keduanya berbicara secara terbalik, yaitu QS. At-Tawbah (8) ayat 17 dan 18. Ayat 17 berbicara tentang penafian Allah terhadap kemungkinan orang-orang musyrik melakukan pemberdayaan masjid, dan ayat ke 18 berbicara tentang mereka yang layak dan berhak melakukan pemberdayaan itu.
Kata “masjid” secara harfiah berarti “tempat untuk bersujud”. Namun secara terminologis, masjid dapat dimaknai sebagai tempat khusus untuk melakukan berbagai aktivitas yang bernilai ibadah dalam arti yang luas. Salah satu bentuk aktivitas ibadah tersebut adalah aktivitas pengajaran dan pendidikan. Melalui lembaga non-formal inilah Rasulullah SAW. melakukan proses pembinaan moral, mental dan spiritual ummat, sehingga masjid pada saat itu berfungsi strategis sebagai lembaga pendidikan yang efektif untuk menghimpun potensi ummat dari berbagai latar belakang dan unsurnya.
Terkait dengan ini, berdasarkan pembacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dapat dirumuskan 2 (dua) klasifikasi lembaga pendidikan yang disebut secara implisit oleh Allah SWT., yaitu institusi keluarga yang biasa disebut dengan istilah lembaga informal dan institusi masjid yang mewakili lembaga pendidikan nonformal. Sedangkan lembaga pendidikan formal yang berkembang sangat pesat sekarang ini dapat disarikan dari QS. At-Taubah (8) ayat 122 yang menyebut komunitas kecil “tha’ifah” yang melakukan pengkajian ilmu (tafaqquh fid din) secara intens. Dapat dikatakan inilah peserta didik formal yang secara spesifik memiliki konsekuensi dan tanggung jawab ilmiyah dan moral untuk menyampaikan kembali pengajaran yang diterimanya kepada masyarakat yang tidak memenuhi syarat atau kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal.
Masjid sebagai pusat pendidikan nonformal memiliki tingkat implikasi yang cukup besar, di antaranya: Pertama, mendidik masyarakat agar memiliki semangat pengabdian dalam seluruh aktivitasnya kepada Allah SWT. Kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga masyarakat dan negara. Ketiga, memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran serta mengembangkan potensi-potensi ruhiah manusia melalui pendidikan kesabaran, keikhlasan, optimisme, dan akhlak luhur lainnya. Sehingga alumni lembaga masjid memiliki kualifikasi intelektual, emosional dan spritual yang baik sebagai basis akhlak masyarakat.
Pada tataran aplikasi, pemberdayaan/pemakmuran masjid menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi dapat dilakukan dengan 2 (dua) aktivitas secara sinergis dan terpadu, yaitu:
1. Memberikan kenyamanan secara fisik untuk beribadah di dalamnya.
2. Memperbanyak aktivitas kebaikan di dalamnya.
Dengan bahasa yang berbeda, masjid memiliki 3 (tiga) fungsi. Pertama, sebagai tempat ibadah mahdhah (shalat) dan sebagai tempat ibadah sosial (mengelola zakat, wakaf, membina umat, membangun ukhuwah islamiyah, menjaga kebersihan dan kesehatan bersama, dan membantu peningkatan perekonomian umat. Kedua, memanfaatkan masjid sebagai pusat pengembangan masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui berbagai prasarana dan sarana yang dimiliki masjid. Seperti khutbah, pengajian, kursus keterampilan yang dibutuhkan anggota jamaah dan remaja, dan menyelenggarakan pendidikan formal sesuai kebutuhan masyarakat. Ketiga, memfungsikan masjid sebagai pusat pembinaan persatuan umat. Di masa Rasulullah saw, masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga tempat menyatukan umat Islam, menetapkan strategi perang, pendidikan, dan pemberdayaan umat.
Kita boleh saja bangga dengan banyaknya masjid dan kemewahannya. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah jumlah jemaah yang memakmurkan masjid. Apalah artinya masjid mewah dan agung jika jumlah jemaahnya bisa dihitung dengan jari? Fungsi masjid menjadi lebih penting di bulan Ramadan ini, bukan saja untuk melaksanakan shalat wajib dan sunat berjamaah, tetapi juga sebagai tempat i’tikaf pada hari sepuluh terakhir Ramadan, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Dari itu, masjid dan peningkatan fungsinya perlu menjadi perhatian serius pihak-pihak terkait, agar peran masjid benar-benar berfungsi sebagai rumah Allah dan pusat peningkatan kualitas iman umat Islam menuju derajat takwa.
Untuk melaksanakan perbaikan pendidikan Islam ke depan, sudah saatnya memfungsikan masjid sebagaimana yang diinginkan Rasulullah, apalagi pada saat ini banyak sekali persoalan umat Islam yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Tempat yang paling efektif menyelesaikan masalah ini adalah lewat pembinaan umat melalui masjid-masjid yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Semakin jauh umat ini dari masjid, maka semakin hancurlah masa depan Islam. Umat Islam saat ini telah terkontaminasi dengan budaya luar yang membuat mereka jauh dari masjid.
Umat Islam terkotak-kotak dalam berbagai kelompok yang saling bertentangan, sehingga merubuhkan bangunan ukhuwah islamiah. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan ini dan tidak perlu ditanya siapa yang akan memimpin, tapi mari mulai dari pribadi masing-masing untuk berinisiatif menghidupkan masjid. Apalagi bulan Ramadan ini bulan yang penuh berkah dan pengampunan dengan membina jamaah dan remaja Islam yang diawali dengan membuat kajian Islam di masjid-masjid.
Oleh karena itu, mari kita kerahkan semua potensi umat untuk kembali ke masjid dan menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan umat. Dengan memberdayakan masjid dan memfungsikannya dengan benar, maka masjid akan menjadi sumber kebangkitan umat Islam dan wadah pembinaan umat Islam serta menjadi benteng umat dari pengaruh ajaran dan paham yang bertentangan dengan konsep Islam.
Kita sudah sangat merasakan kemunduran peranan masjid dalam menyelesaikan permasalahan sosial keagamaan. Masjid yang begitu banyak kita bangun hanya sebagai simbol ketimbang menjadi sarana untuk membangun umat. Perbandingan masjid dengan jumlah umat tersebut rasanya cukup representatif. Tetapi, kenyataannya peranan masjid belum signifikan dalam mengakses permasalahan umatnya. Lemahnya peranan masjid dalam mengakses permasalahan umat memperpanjang catatan sosial keagamaan umat Islam yang buruk di negeri ini. Catatan sosial yang buruk itu dapat kita simak dari potret kemiskinan umat, budaya fatalisme, dan keterbelakangan sumber daya manusia.
Kelemahan akses masjid terhadap masalah umat dipengaruhi oleh peranan masjid yang lebih dominan direkonstruksi sebagai institusi ibadah mahdhah ketimbang ibadah ghairu mahdhah. Oleh sebab itu, keberadaan masjid sebagai sarana tempat penyelenggaraan shalat dan peranan pemberdayaan umatnya tertinggal.
Di samping itu, masjid juga lebih banyak dijadikan ajang pergumulan retorika dakwah yang tidak membumi. Malahan, dangkal dari pesan-pesan agama yang dapat meningkatkan kemampuan umat. Dalam konteks ini, pesan-pesan agama yang tidak mampu menyelesaikan persoalan umat akan menjadikan agama tersebut sebagai fosil yang disimpan dalam rumah kaca.
Semestinya masjid yang begitu banyak kita miliki itu menjadi aset dalam membangun umat. Sayang, kita belum memotensikannya secara maksimal. Jika kita lihat dari sejarah peradaban Islam, baik ketika era Rasulullah maupun pada era keemasan Islam di Andalusia (Spanyol), peranan masjid begitu luas.
Masjid tidak hanya dijadikan sebagai sarana penyelenggaraan shalat, tetapi juga menjadi institusi sosial yang berperan dalam membangun pendidikan, ekonomi, dan politik umat. Oleh sebab itu, keberadaan masjid pada era Rasulullah lebih tepat dikatakan sebagai institusi yang membangun peradaban umat Islam yang modern.
Pada era kejayaan Islam di Andalusia, masjid direkonstruksi sebagai pusat pendidikan. Masjid menjadi basis bagi kaum intelektual dalam membangun kepakarannya, karena masjid pada era itu dilengkapi dengan perpustakaan yang dapat diakses oleh umat. Malahan, tidak mengherankan kemajuan yang dicapai oleh Islam di Andalusia ini sangat dipengaruhi oleh peranan masjid yang berfasilitas pendidikan tersebut.
Kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan tersebut telah mengubah wajah peradaban Andalusia. Di samping itu, membaca biografi dari ilmuwan-ilmuwan Islam, ternyata banyak yang membangun kepakarannya dari masjid. Serambi-serambi masjid telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam, seperti Ibnu Rusy dan Ibnu Sina. Kedua ilmuwan ini menurut catatan biografinya banyak menghabiskan waktu dengan membaca di perpustakaan masjid yang ada pada era mereka.
Krisis peranan masjid perlu dicermati sehingga masjid tidak menjadi saksi bisu dalam ingar-bingar perubahan sosial umatnya. Masjid perlu dilihat kembali sebagai agen transformasi umat dengan memperluas peranan dan fungsinya yang tidak lagi sebatas serambi shaf-shaf shalat yang kosong tanpa jemaah.
Sudah saatnya masjid direkonstruksi sebagai institusi agama yang modern yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang dapat memberdayakan umat dan tidak lagi sekadar sebagai sarana penyelenggara shalat. Oleh sebab itu, pengelolaan masjid memerlukan manajemen yang profesional dan mempunyai kegiatan yang inovatif.
Masjid sudah sangat penting dijadikan sebagai institusi agama yang profesional. Bahkan, di Malaysia masjid telah dilengkapi dengan sambungan internet tanpa kabel dan gratis diakses oleh jamaah sehingga masjid tidak lagi dikunjungi ketika waktu shalat. Tetapi, dijadikan sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan bahkan tempat berkreasi.
Antara masjid dan teknologi modern tidak terpisah, tetapi dapat berkolaborasi dalam membangun umat yang melek pengetahuan. Sekaligus hal ini akan dapat menghapus stigma keterpisahan ajaran agama dengan dunia modern.
Mungkin di Indonesia kita perlu menginovasi masjid untuk menumbuhkan semangat baca dengan mendirikan perpustakaan masjid yang dapat diakses oleh umat. Masalahnya, sarana-sarana yang menumbuhkan minat baca sangat minim. Dengan demikian, tidak heran masyarakat kita mempunyai minat baca yang rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Semangat membaca kita masih tertinggal dari negara tetangga Singapura dan Malaysia. Bahkan, mereka melek internet. Mereka melewati permasalahan tersebut dan sekarang berupaya memberdayakan masyarakat yang sadar internet.
Masjid yang tersebar di tengah-tengah umat Islam ini sudah harus mengambil peranan sebagai sarana untuk mengatasi keterbelakangan umat dan harus dipikirkan sebagai basis gerakan membaca, seperti yang diperintahkan Alquran dalam Surat Al-Alaq. Peranan ini sangat penting direkonstruksi oleh masjid, bahkan sudah sangat mendesak.
Perpustakaan perlu menjadi bagian penting di masjid. Masjid akan menjadi salah satu jembatan bagi umat dalam memanifestasikan hadis Rasulullah: Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai liang lahat. Andaikan setengah saja masjid ada di Indonesia ini efektif, tentu membantu membangun umat. Masalahnya, rendahnya minat baca di negeri ini dipengaruhi oleh keterbatasan sarana yang tersedia dan tidak teraksesnya perpustakaan negara oleh banyak orang.
Dengan perpustakaan masjid, permasalahan itu secara bertahap dapat dicairkan. Sudah saatnya rumah ibadah dijadikan pusat pencerdasan umat. Usaha seperti ini juga pernah terjadi pada era Khalifah al-Makmum dengan merekonstruksi masjid yang tidak terpisah dengan perpustakaan. Wallahu a’lamu bish shawab.

Komentar :

ada 0 komentar ke “MEMBERDAYAKAN MASJID (Malam Ke: 16)”

Posting Komentar

 

© 2011 Fresh Template. Powered by Blogger.

Pusat PASIH by Dirja.