مرحبا بكم في الموقع الرسمي لمعهد الجامعة الإسلامية الحكومبة باري-باري

Kamis, 04 Agustus 2011

KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMANAH (Malam Ke-23)

Oleh: Irfan, S. HI
Di antara bentuk ketakwaan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya. Baik amanah yang berkaitan dengan kewajiban kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti shalat, berwudhu, membayar zakat dan yang lainnya, maupun yang berkaitan dengan kewajiban kepada sesama manusia. Sehingga seseorang perlu memahami bahwa amanah itu sangat luas cakupannya. Dan amanah yang diemban oleh setiap orang tidak selalu sama dengan yang lainnya. Namun semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala nanti atas pelaksanaan amanah yang dipikulnya.
Perlu diketahui, bahwa menjalankan amanah dan menjaganya bukanlah perkara yang bisa dilakukan semudah membalik tangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tentang beratnya amanah di dalam firman-Nya:

إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً
Terjemahannya:
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah (yaitu menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan seluruh larangan-Nya) kepada seluruh langit dan bumi serta gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
I. PENGERTIAN AMANAH
Lalu apa yang dimaksud dengan amanah? Amanah berasal dari bahasa arab, dari akata ’amuuna’ – ’ya’munu’ – ’amanah’ yang bermakna ”yang harus ditepati” atau ”titipan yang harus ditunaikan”. Dalam kamus Mukhtar Shohah disebutkan sebagai seluruh perjanjian yang diberikan kepada manusia dari kewajiban-kewajiban syari’i seperti ibadah dan titipan (anak, keluarga, harta adalah bagian dari amanah). Dari segi akhlak dan nilai, amanah berarti menghargai kepercayaan orang lain terhadap diri seseorang dengan melaksanakan tuntutan yang terdapat dalam kepercayaan itu. Atau dengan kata lain, amanah adalah tanggungjawab yang diterima seseorang yang kepadanya diberikan kepercayaan bahawa ia dapat melaksanakannya sebagaimana yang dituntut, tanpa mengabaikannya.
II. URGENSI AMANAH
Sedemikian pentingnya amanah dalam ajaran Islam, sehingga ia menjadi pemisah bagi orang yang beriman dan munafik serta menjadi salah satu indikator kesempurnaan iman seorang Muslim yang telah bersyahadat. Seperti sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Al-Mu’minun (23):1-11).
Laa iimaana liman laa amaanata lah, wa la diina liman laa ‘ah dalah (tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak menunaikan janji). H.R Ahmad.
“Tiga perkara yang jika terdapat salah satu daripadanya, berarti terdapat tanda munafiq sekalipun ia berpuasa, mendirikan shalat, menunaikan haji, umrah dan mengakui dirinya seorang Muslam yaitu apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia memungkirinya dan apabila dberikan amana ia menggkhianatinya” (Riwayat Abu Al-Syeikh).
Dengan melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya, maka nyatalah wujud keimanan seorang Muslim yang senantiasa bergerak aktif di dalam dadanya. Karena pergerakan yang aktif itu, maka imannya menajdi produktif menghasilkan karya kebaikan dan amal sholeh. Baginya, amanah meski berat sekalipun adalah tanggung jawabnya tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada Allah SWT.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui. (Al-Anfaal : 27).
Dalam ajaran Islam, diatur pula mekanisme pembebanan amanah kepada seseorang. Bagi orang yang tak memiliki kapabilitas dalam bidang amanahnya maka tak pantaslah dibebankan kepadanya. Sebagaimana Abu Dzar Al-Ghifari yang dinilai lemah oleh Rasulullah untuk mengemban suatu amanah.
Jadi, dalam pembebanan amanah sebaiknya terlebih dahulu melihat kapasitas orang yang bersangkutan. Jangan sampai kita menentukan suatu amanah tidak melihat pada kapabiliats seseorang, melainkan dengan kecenderungan hatinya semata, maka Allah mengancam dengan siksaan yang pedih.
:“Barangsiapa menguasai suatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberi kuasa kepada seseorang kerana cintanya, maka laknat Allah menimpa atasnya. Allah tidak menerima ganti dan tidak pula tebusan, sehingga dia dimasukkan ke dalam neraka jahannam “. (Riwayat Al-Hakim).
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Sahabat bertanya: “Bagaimana mensia-siakannya?” Rasulullah menjawab: “Apabila sesuatu jawatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (H.R Bukhari).
BENTUK-BENTUK AMANAH
1. Amanah terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya.
Amanah bentuk ini bermaksud menjalankan tanggungjawab kita sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, sesuai dengan rahasia penciptaan dan fungsi hidup manusia. Ia merupakan amanah yang paling utama. Pelaksanaan tanggungjawab sebagai hamba merupakan pengukuhan hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah SWT). Dengan memelihara dan menghargai amanah Allah SWT dan Rasulullah s.a.w., seseorang dapat melahirkan suasana aman, tenteram dan penuh harmoni.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khuatir akan mengkhianatinya dan dipikul amanah itu oleh manusia” (Al-Ahzab (33):72).
Dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa Allah SWT telah berfirman : “Wahai Adam! Sesungguhnya Aku telah menawarkan `amanat’ itu kepada langit dan bumi, namun kesemuanya tidak sanggup menanggungnya. Apakah engkau sanggup menanggungnya dengan segala risikonya? Bertanya Adam: Dan apa yang akan aku dapat kiranya aku sanggup menanggungnya? Allah berfirman: Kiranya engkau sanggup menanggungnya dengan baik, nescaya engkau akan diberi pahala, dan kiranya engkau menyia-nyiakannya, nescaya engkau akan disiksa. Berkata Adam: Aku sanggup menanggungnya dengan segala risikonya. Maka tiadalah lama dia berada di syurga, melainkan sekadar antara shalat yang pertama dan shalat Ashar, maka dia pun telah dikeluarkan syaitan dari syurga itu” (Riwayat Abus-Syaikh).
2. Amanah Terhadap Diri Sendiri.
Manusia harus memegang amanah terhadap dirinya sendiri, seperti anggota-anggota jasadnya (mata, telinga, mulut, perut, tangan, kaki dan kemaluan) dan anggota-anggota bathinnya (aqal, hati dan nafsu) yang dikurniakan Allah SWT. Semuanya mesti berfungsi mengikut tuntutan Allah SWT dan sebagaimana dilaksanakan oleh Rasulullah saw.
3. Amanah Terhadap Masyarakat.
Amanah terhadap masyarakat timbul kerana sifat masyarakat yang bergantungan antara satu sama lain (hablum minannaas). Orang kaya dan orang miskin, penjual dan pembeli, pemimpin dan pengikut, pegawai dan kakitangannya, pemerintah dan rakyat, dan sebagainya semuanya bergantung antara satu sama lain.
Adapun amanah yang berhubungan dengan muamalah, yaitu yang berkaitan dengan menjalankan kewajiban kepada sesama manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk menjalankannya dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَفَّقَنـِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ لِأَدَاءِ الْأمَانَةِ وَحَمَانَا جَمِيْعًا مِنَ الْإِضَاعَةِ وَالْـخِيَانَةِ وَغَفَرَ لَنَا وَلِوَلِدِيْنَا وَلِـجَمِيْعِ الْـمُسْلِمِيْنَ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Terjemahannya:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala di samping menyebutkan di dalam firman-Nya perintah untuk menjalankan amanah, juga menyebutkan kepada kita larangan untuk berbuat khianat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
آيَةُ الْـمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
Terjemahnya:
“Tanda-tanda orang munafiq ada tiga: Jika berbicara berdusta, bila berjanji tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah mengkhianatinya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Dalam riwayat al-Imam Muslim RA disebutkan: Maka sudah semestinya bagi kita untuk berusaha menjaga amanah yang telah kita terima. Baik yang berkaitan dengan kewajiban kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala maupun kepada sesama manusia. Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa mengamalkan ilmu yang telah sampai kepada kita dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah kita dengar. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga amanah yang ada di pundak-pundak kita.

Komentar :

ada 0 komentar ke “KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMANAH (Malam Ke-23)”

Posting Komentar

 

© 2011 Fresh Template. Powered by Blogger.

Pusat PASIH by Dirja.